Pada bulan September 2004, ISO (Organisasi Internasional untuk Standardisasi) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (kelompok kerja) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility .
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman umum bahwa SR sangat penting untuk kelangsungan suatu organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the Environment” tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD) ” tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social Responsibility . Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO tentang pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility” pada tahun 2002.
Pada bulan Juni 2004 diadakan pra-konferensi dan konferensi bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NYIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak.
Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik.
ISO 26000 menyediakan pedoman standar yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu lembaga yang mencakup semua sektor publik ataupun badan swasta baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini, organisasi akan memberikan nilai tambahan terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara:
- Mengungkapkan suatu konteks terhadap pemahaman tanggung jawab sosial dan isunya;
- Memberikan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif;
- Memilah praktik-praktik terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional
ISO 26000 adalah standar panduan sukarela, yaitu tidak memuat persyaratan seperti yang digunakan ketika standar ditawarkan untuk “sertifikasi”. Ada kurva pembelajaran tertentu yang terkait dengan penggunaan ISO 26000, karena tidak diberikan penghargaan eksternal khusus – sertifikasi – yang secara eksplisit dikaitkan dengan ISO 26000
Apabila ingin menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility yang secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah Social Responsibility akan mencakup 7 (tujuh) isu pokok yaitu :
- Pengembangan Masyarakat
- Konsumen
- Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
- Lingkungan
- Ketenagakerjaan
- Hak asasi manusia
- Organisasi Pemerintahan (Tata Kelola Organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
- Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
- Memperhatikan kepentingan dari para pemangku kepentingan
- Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
- Terintegrasi dalam seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini mencakup baik kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan tanggung jawab sosial hendaknya terintegrasi dalam seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab. jawab sosialnya secara utuh. Contoh lain, misalnya suatu perusahaan memberikan kepedulian terhadap pemasok perusahaan yang tergolong industri kecil dengan mengeluarkan kebijakan pembayaran transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM.
Secara logika produk atau jasa tertentu yang dihasilkan UKM pada skala ekonomi tertentu akan lebih efisien jika dilaksanakan oleh UKM. Namun UKM biasanya tidak memiliki arus kas yang kuat dan jaminan yang memadai dalam melakukan pinjaman ke bank, sehingga jika perusahaan membantu pemasok UKM tersebut, maka dapat dikatakan perusahaan tersebut telah melaksanakan bagian dari tanggung jawab sosialnya.
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi :
- Kepatuhan kepada hukum
- Menghormati instrumen/badan-badan internasional
- Menghormati pemangku kepentingan dan kepentingannya
- Akuntabilitas
- Transparansi
- Perilaku yang beretika
- Melakukan tindakan pencegahan
- Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Telah disepakati bahwa ISO 26000 ini hanya memuat panduan (guidelines) saja dan tidak memuat terhadap persyaratan karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO – ISO lainnya.
Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu secara umum diperlukan suatu pedoman dalam penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan (guideline) atau dijadikan referensi utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.
Sumber: landasanteori.com
Leave a Reply